Terinspirasi oleh sebuah artikel di sebuah blog, bagaimana si empunya blog menuturkan awal mulanya dia memakai jilbab, aku kembali menitikkan air mata untuk kesekian kalinya teringat akan peristiwa yang teramat penting dalam kehidupanku. Bahkan pada saat aku menulis inipun, air mataku tak berhenti menetes.
Peristiwa itu telah membuat aku tahu betapa besar cinta kasih orang-orang di sekelilingku terutama Ibu, Bapak, kakak, adik dan suamiku tercinta serta teman-teman. Peristiwa itu juga membuat aku tahu, bahwa ternyata aku rela dan ikhlas pergi untuk selama-lamanya tapi justru tidak bisa dan tidak rela meninggalkan mereka larut dalam kesedihan karena kehilanganku.
Di sebuah sore di awal bulan puasa tahun 2003, aku pergi ke sebuah rumah sakit untuk melakukan kontrol kesehatan kandunganku yang sebelumnya pernah mengalami masalah serius. Kontrol itu aku lakukan rutin setiap berapa bulan sekali sesuai anjuran dokter. Dari situlah cerita ini bermula.
Sebelumnya aku ingin bercerita terlebih dahulu bahwa pada tahun 2002 aku terkena sakit kanker ovarium stadium 1c. Aku sudah dioperasi caecar sepanjang kurang lebih 10 cm untuk mengangkat kista yang ada di indung telurku sebelah kanan. Hal itu dilakukan bahkan sebelum aku punya momongan oleh karenanya dokter masih menyisihkan indung telur kiriku untuk memberiku kesempatan mendapatkan anak. Pada waktu itu kami sudah menikah selama hampir 3 tahun dan belum diberi momongan.
Dua minggu setelah operasi aku diharuskan menjalani chemotherapy sebanyak 6x. Schedulenya adalah 3 minggu sekali. Masa-masa itu adalah masa-masa yang berat untukku dan keluargaku bahkan Ibu mertuaku dan saudara-saudara suamiku ikut terlibat secara moril dan materiil. Mereka semua kaget dan sedih mengetahui sakitku ini. Walaupun aku tahu mereka semua shock terutama Ibuku, aku tidak mau menunjukkan kepada mereka bahwa akupun tak kalah sedihnya. Aku selalu optimis menjalani semua pengobatan itu tanpa mengeluh. Ketika rambutku mulai habis pada chemotherapy yang pertama, Ibuku menggunduli rambutku sambil berlinang air mata tapi aku tidak mau ikut terbawa dalam kesedihannya. Juga ketika obat-obatan itu masuk ke dalam venaku melewati selang-selang infus, kadang datang rasa sakit yang luar biasa namun bisa aku tahan. Dan juga ketika aku terus muntah sehabis dichemo, tak ada sedikitpun perasaan pesimis menghinggapiku. Aku sangat percaya bahwa aku akan sembuh dan pulih lagi setelah melewati masa-masa yang berat itu.
Pada akhir tahun 2002, malam tahun baru 2003 aku berada di rumah sakit untuk menjalani chemotherapyku yang terakhir, yang ke enam. Aku rayakan malam tahun baru itu dengan selang selang infus di kakiku. Tanganku sudah tidak menyisakan lagi vena untuk infus yang terakhir itu karena kondisi tanganku sudah banyak luka hangus oleh obat chemo yang sebelumnya.
Setelah pengobatan itu selesai aku diharuskan kontrol setiap periode waktu tertentu oleh dokter. Aku sadar bahwa sakitku itu telah mengguncangkan seluruh keluarga besarku oleh karena itu akupun ikut menjaga agar jangan sampai terjadi hal yang lebih besar lagi dengan melakukan apa yang dokter sarankan. Dari hasil kontrol-kontrol sebelumnya aku sudah dinyatakan bersih dari penyakit.
Seperti sore itu di awal bulan puasa 2003, aku kembali melakukan kontrol. Sepulang dari kantor aku langsung menuju rumah sakit seorang diri, kemudian suamiku akan menyusulku dari kantornya. Rupanya sebelum suamiku datang suster sudah menyuruhku masuk ke ruang periksa. Seperti biasa dokter kemudian memeriksa kandunganku lewat usg. Biasanya dokterku ini sangat ceria apabila aku datang dan memeriksa. Dia akan dengan senangnya memberitahuku keadaanku yang bagus dan bersih. Tapi sore itu wajah dokter itu seperti kurang senang melihat monitor usg dan dengan wajah muram dia berkata bahwa sepertinya ada yang aneh dari hasil usg ku. Aku mencoba menahan diri untuk tidak gusar. Dokter kemudian menyuruhku duduk dan memberitahuku bahwa penyakitku kambuh lagi, kali ini mengenai indung telur sebelah kiri. Untuk itu dokter memberiku rujukan ke rumah sakit besar untuk melakukan pemeriksaan usg yang lebih detail lagi. Dia berjanji akan menemaniku disaat pemeriksaan berlangsung. Dan ketika aku bertanya apabila ternyata penyakitku ini positif ada, apa yang akan dilakukan? Dia menjawab dengan ringan bahwa aku harus dioperasi lagi dan menjalani chemotherapy lagi. Ya Allah....aku merasa sore itu begitu gelap....
Ternyata penyakit itu begitu agresifnya menyerangku bahkan setelah aku mengalami pengobatan yang begitu kejam.
Aku tertunduk lesu dan tidak bisa berkata-kata. Dokter pun tidak ingin bicara banyak karena dia tahu apa yang ada di hatiku. Dia membiarkan aku keluar dari ruangan dengan kesedihan menggantung di wajahku.
Di ruang tunggu aku melihat suamiku sudah duduk di sana. Dia kemudian berdiri menyambutku dan bertanya bagaimana hasilnya. Pada saat itu aku menjawab dengan suara lirih bahwa penyakitku kambuh lagi. Dia kemudian diam memandangku dan tidak berkata apa-apa, langsung merangkulku. Rasanya aku ingin bersandar dan menangis meraung-raung karena kecewa, ternyata apa yang aku begitu yakini selama ini salah. Ternyata penyakit itu begitu ganasnya menyerangku. Tapi aku putuskan untuk diam, aku bahkan tak bisa menangis karena pikiranku sedang berkecamuk berusaha menenangkan diriku sendiri. Menangis sama sekali tidak akan meringankan kesedihanku.
Sepanjang perjalanan pulang kami diam seribu kata. Sepertinya suamiku takut memulai pembicaraan. Pada saat itu aku merasa bahwa kematian sudah begitu dekat denganku, langit begitu gelap dan aku memikirkan dosa-dosaku di hari-hari yang lalu. Aku belum siap.
Aku menjadi begitu iba melihat suamiku yang mungkin akan aku tinggalkan segera. Alangkah malang nasibnya mempunyai istri aku yang hanya merepotkan dia selama perkawinan kami. Apalagi aku sebagai istri belum bisa memberikan keturunan baginya. Dia yang telah dengan setia dan baiknya menemani hari-hari beratku ketika aku sakit, kini harus diuji lagi dengan kambuhnya sakitku. Aku menitikkan air mata diam-diam. Maafkan aku ya mas.....
Malam itu aku berdoa dan mengaji berdua dengan suamiku. Yang ingin kulakukan hanya berdoa dan berdoa mohon ampunan kepada Allah atas semua dosaku sehingga aku bisa pergi dengan tenang. Aku meyakini doa-doaku karena pada saat itu adalah bulan puasa, Allah akan mendengar doa kami dan mengampuni dosa-dosaku.
Sehabis sahur kami berdua langsung pergi menuju rumah sakit besar untuk periksa usg lagi, di sana dokterku pun sudah standby. Bisa dibayangkan bagaimana perasaanku saat itu. Takut, panic, sedih bercampur jadi satu.
Singkatnya setelah diperiksa oleh dokter ahli usg, dokter menyimpulkan bahwa penyakitku memang benar kambuh.
Aku merasa semuanya menjadi nyata. Bahwa umurku tak lama lagi, penyakitku akan menggerogoti hari demi hariku dan akan memberiku penderitaan sakit yang luar biasa sebagaimana penderita kanker yang menunggu kematian.
Keluar dari ruang usg, aku menghampiri suami dan kakak iparku yang menunggu di luar, aku menangis, menangis dan merasa putus asa. Ada rasa takut yang akan segera menjadi nyata yaitu kematian. Suamiku diam menahan sedih, sementara kakak iparku mencoba menghiburku. Ketika aku spontan bertanya, bagaimana kalau aku mati? kakak iparku segera menjawab bahwa umur milik Allah semata. Tapi kata-katanya tidak bisa membendung tangisku.
Sulit aku terima makna kata itu sementara kenyataan mengatakan penyakit itu sangat agresif mengejarku.
Ketika dokter menerangkan lagi kepada aku dan suamiku tentang kemungkinan - kemungkinan langkah yang akan diambilnya aku sudah tidak begitu peduli. Bahkan ketika dia bilang kemungkinan untuk mengambil rahimku aku pun tidak peduli. Dokter aku mau hidup...itu saja.
Aku marah. Marah pada Tuhan, marah pada diri sendiri, marah pada dokterku yang biasanya begitu baik berubah begitu dinginnya menghadapi ketakutanku seolah menganggapku hanya sebuah object yang memang sudah semestinya mati dengan adanya penyakit itu...astaghfirullah..
Bersambung....