Thursday, September 30, 2010

Calamari Pedas ala Thai


Sebenarnya aku tidak begitu suka cumi-cumi. Rasanya kadang hambar dan sering kurang segar sehingga berbau. Pagi ini aku mau masak tapi malas mau belanja ke pasar. Ketika aku buka freezer ternyata masih ada satu kotak cumi-cumi beku. Pikir punya pikir tiba-tiba terbesit cumi goreng tepung.
Kali ini aku ingin membumbui cumi goreng tepung agar tidak terlalu plain.
Karena suamiku suka masakan pedas, okelah aku tambahkan cabe. Terciptalah resep ini. Resep yang akhirnya menjadi favorite suamiku.


Bahan-bahan :

1/2 kg Cumi segar dipotong cincin
1 0ns terigu
Garam secukupnya
1/4 sdt merica bubuk

7 Cabe rawit merah
5 Cabe merah keriting
2 Siung Bawang Putih
5 Siung Bawang Merah iris tipis
10 lmbr Daun Jeruk
1 btg Sereh digeprak
Garam secukupnya
Gula Pasir secukupnya
Cuka 3 tetes

Caranya :

1. Taburi cumi dengan terigu, garam dan merica sampai tertutup semua. Ongklok dalam panci sampai rata tertutup.
2. Goreng dengan minyak panas sampai renyah kemudian angkat dan sisihkan.
3. Masukkan cabe dan bawang putih dalam food processor. Cincang kasar.
4. Goreng bawang merah iris hingga kuning bersama daun jeruk dan sereh, masukkan cabe cincang. Tambahkan garam, gula dan cuka. Aduk-aduk hingga matang. Matikan api.
5. Masukkan cumi dan aduk-aduk dengan bumbu pedas. Sajikan dengan nasi panas.

Wednesday, September 22, 2010

Bihun Kangkung


Saya gemar sekali makanan yang memakai bumbu tauco. Makanan yang satu ini terutama. Walaupun berbahan dasar karbohidrat (bisa mie atau bihun) masakan ini banyak memakai sayuran yang membuatnya begitu crunchy dan healthy....


Bahan-bahan :

1/4 kg Bihun (bisa diganti mie)
1 ikat kecil Kangkung segar dipetikin
2 genggam Taoge segar
2 butir Telur
6 ekor Udang ukuran sedang
1 btg Daun Prei dipotong-potong 1 cm
3 sdm Tauco Kokita (bisa dikurangi sesuai selera)
Kecap Asin
Kecap Manis
Garam
Cabe rawit merah iris (sesuai selera)
5 siung Bawang merah iris tipis
2 siung Bawang Putih iris tipis
Royco sapi secukupnya
1 1/2 sdm Terigu
Bawang merah goreng
Jeruk limau belah 2

Caranya :
1. Tumis Bawang merah dan putih serta cabe iris hingga harum. Masukkan tauco dan aduk. Tambahkan air sebanyak 1 ltr. Tambahkan kecap asin, manis, garam serta daun prei dan royco. Terakhir masukkan udang yang dikupas. Rasakan asin manisnya. Masakan ini cenderung manis asin.
2. Encerkan terigu dengan setengah gelas air dingin kemudian tuang dalam kuah. Aduk-aduk hingga mengental.
3. Panaskan air di panci sebanyak 2 ltr sampai mendidih. Masukkan telur diceplok dalam air. Setelah 4 menit masukkan kangkung selama 1 menit disusul oleh tauge dan bihun kemudian matikan api. Tiriskan.
4. Susun dalam 2 mangkok bahan dasarnya, masing2 mangkok berisi satu telor ceplok dan bahan-bahan lainnya. Siram dengan kuah tauco panas. Taburi dengan bawang goreng dan perasan jeruk limau.
Sajikan di saat udara dingin....hhmmm

Tuesday, September 21, 2010

Kesempatan kedua

Terinspirasi oleh sebuah artikel di sebuah blog, bagaimana si empunya blog menuturkan awal mulanya dia memakai jilbab, aku kembali menitikkan air mata untuk kesekian kalinya teringat akan peristiwa yang teramat penting dalam kehidupanku. Bahkan pada saat aku menulis inipun, air mataku tak berhenti menetes.

Peristiwa itu telah membuat aku tahu betapa besar cinta kasih orang-orang di sekelilingku terutama Ibu, Bapak, kakak, adik dan suamiku tercinta serta teman-teman. Peristiwa itu juga membuat aku tahu, bahwa ternyata aku rela dan ikhlas pergi untuk selama-lamanya tapi justru tidak bisa dan tidak rela meninggalkan mereka larut dalam kesedihan karena kehilanganku.

Di sebuah sore di awal bulan puasa tahun 2003, aku pergi ke sebuah rumah sakit untuk melakukan kontrol kesehatan kandunganku yang sebelumnya pernah mengalami masalah serius. Kontrol itu aku lakukan rutin setiap berapa bulan sekali sesuai anjuran dokter. Dari situlah cerita ini bermula.

Sebelumnya aku ingin bercerita terlebih dahulu bahwa pada tahun 2002 aku terkena sakit kanker ovarium stadium 1c. Aku sudah dioperasi caecar sepanjang kurang lebih 10 cm untuk mengangkat kista yang ada di indung telurku sebelah kanan. Hal itu dilakukan bahkan sebelum aku punya momongan oleh karenanya dokter masih menyisihkan indung telur kiriku untuk memberiku kesempatan mendapatkan anak. Pada waktu itu kami sudah menikah selama hampir 3 tahun dan belum diberi momongan.

Dua minggu setelah operasi aku diharuskan menjalani chemotherapy sebanyak 6x. Schedulenya adalah 3 minggu sekali. Masa-masa itu adalah masa-masa yang berat untukku dan keluargaku bahkan Ibu mertuaku dan saudara-saudara suamiku ikut terlibat secara moril dan materiil. Mereka semua kaget dan sedih mengetahui sakitku ini. Walaupun aku tahu mereka semua shock terutama Ibuku, aku tidak mau menunjukkan kepada mereka bahwa akupun tak kalah sedihnya. Aku selalu optimis menjalani semua pengobatan itu tanpa mengeluh. Ketika rambutku mulai habis pada chemotherapy yang pertama, Ibuku menggunduli rambutku sambil berlinang air mata tapi aku tidak mau ikut terbawa dalam kesedihannya. Juga ketika obat-obatan itu masuk ke dalam venaku melewati selang-selang infus, kadang datang rasa sakit yang luar biasa namun bisa aku tahan. Dan juga ketika aku terus muntah sehabis dichemo, tak ada sedikitpun perasaan pesimis menghinggapiku. Aku sangat percaya bahwa aku akan sembuh dan pulih lagi setelah melewati masa-masa yang berat itu.

Pada akhir tahun 2002, malam tahun baru 2003 aku berada di rumah sakit untuk menjalani chemotherapyku yang terakhir, yang ke enam. Aku rayakan malam tahun baru itu dengan selang selang infus di kakiku. Tanganku sudah tidak menyisakan lagi vena untuk infus yang terakhir itu karena kondisi tanganku sudah banyak luka hangus oleh obat chemo yang sebelumnya.

Setelah pengobatan itu selesai aku diharuskan kontrol setiap periode waktu tertentu oleh dokter. Aku sadar bahwa sakitku itu telah mengguncangkan seluruh keluarga besarku oleh karena itu akupun ikut menjaga agar jangan sampai terjadi hal yang lebih besar lagi dengan melakukan apa yang dokter sarankan. Dari hasil kontrol-kontrol sebelumnya aku sudah dinyatakan bersih dari penyakit.

Seperti sore itu di awal bulan puasa 2003, aku kembali melakukan kontrol. Sepulang dari kantor aku langsung menuju rumah sakit seorang diri, kemudian suamiku akan menyusulku dari kantornya. Rupanya sebelum suamiku datang suster sudah menyuruhku masuk ke ruang periksa. Seperti biasa dokter kemudian memeriksa kandunganku lewat usg. Biasanya dokterku ini sangat ceria apabila aku datang dan memeriksa. Dia akan dengan senangnya memberitahuku keadaanku yang bagus dan bersih. Tapi sore itu wajah dokter itu seperti kurang senang melihat monitor usg dan dengan wajah muram dia berkata bahwa sepertinya ada yang aneh dari hasil usg ku. Aku mencoba menahan diri untuk tidak gusar. Dokter kemudian menyuruhku duduk dan memberitahuku bahwa penyakitku kambuh lagi, kali ini mengenai indung telur sebelah kiri. Untuk itu dokter memberiku rujukan ke rumah sakit besar untuk melakukan pemeriksaan usg yang lebih detail lagi. Dia berjanji akan menemaniku disaat pemeriksaan berlangsung. Dan ketika aku bertanya apabila ternyata penyakitku ini positif ada, apa yang akan dilakukan? Dia menjawab dengan ringan bahwa aku harus dioperasi lagi dan menjalani chemotherapy lagi. Ya Allah....aku merasa sore itu begitu gelap....
Ternyata penyakit itu begitu agresifnya menyerangku bahkan setelah aku mengalami pengobatan yang begitu kejam.
Aku tertunduk lesu dan tidak bisa berkata-kata. Dokter pun tidak ingin bicara banyak karena dia tahu apa yang ada di hatiku. Dia membiarkan aku keluar dari ruangan dengan kesedihan menggantung di wajahku.
Di ruang tunggu aku melihat suamiku sudah duduk di sana. Dia kemudian berdiri menyambutku dan bertanya bagaimana hasilnya. Pada saat itu aku menjawab dengan suara lirih bahwa penyakitku kambuh lagi. Dia kemudian diam memandangku dan tidak berkata apa-apa, langsung merangkulku. Rasanya aku ingin bersandar dan menangis meraung-raung karena kecewa, ternyata apa yang aku begitu yakini selama ini salah. Ternyata penyakit itu begitu ganasnya menyerangku. Tapi aku putuskan untuk diam, aku bahkan tak bisa menangis karena pikiranku sedang berkecamuk berusaha menenangkan diriku sendiri. Menangis sama sekali tidak akan meringankan kesedihanku.

Sepanjang perjalanan pulang kami diam seribu kata. Sepertinya suamiku takut memulai pembicaraan. Pada saat itu aku merasa bahwa kematian sudah begitu dekat denganku, langit begitu gelap dan aku memikirkan dosa-dosaku di hari-hari yang lalu. Aku belum siap.
Aku menjadi begitu iba melihat suamiku yang mungkin akan aku tinggalkan segera. Alangkah malang nasibnya mempunyai istri aku yang hanya merepotkan dia selama perkawinan kami. Apalagi aku sebagai istri belum bisa memberikan keturunan baginya. Dia yang telah dengan setia dan baiknya menemani hari-hari beratku ketika aku sakit, kini harus diuji lagi dengan kambuhnya sakitku. Aku menitikkan air mata diam-diam. Maafkan aku ya mas.....

Malam itu aku berdoa dan mengaji berdua dengan suamiku. Yang ingin kulakukan hanya berdoa dan berdoa mohon ampunan kepada Allah atas semua dosaku sehingga aku bisa pergi dengan tenang. Aku meyakini doa-doaku karena pada saat itu adalah bulan puasa, Allah akan mendengar doa kami dan mengampuni dosa-dosaku.

Sehabis sahur kami berdua langsung pergi menuju rumah sakit besar untuk periksa usg lagi, di sana dokterku pun sudah standby. Bisa dibayangkan bagaimana perasaanku saat itu. Takut, panic, sedih bercampur jadi satu.
Singkatnya setelah diperiksa oleh dokter ahli usg, dokter menyimpulkan bahwa penyakitku memang benar kambuh.
Aku merasa semuanya menjadi nyata. Bahwa umurku tak lama lagi, penyakitku akan menggerogoti hari demi hariku dan akan memberiku penderitaan sakit yang luar biasa sebagaimana penderita kanker yang menunggu kematian.
Keluar dari ruang usg, aku menghampiri suami dan kakak iparku yang menunggu di luar, aku menangis, menangis dan merasa putus asa. Ada rasa takut yang akan segera menjadi nyata yaitu kematian. Suamiku diam menahan sedih, sementara kakak iparku mencoba menghiburku. Ketika aku spontan bertanya, bagaimana kalau aku mati? kakak iparku segera menjawab bahwa umur milik Allah semata. Tapi kata-katanya tidak bisa membendung tangisku.
Sulit aku terima makna kata itu sementara kenyataan mengatakan penyakit itu sangat agresif mengejarku.
Ketika dokter menerangkan lagi kepada aku dan suamiku tentang kemungkinan - kemungkinan langkah yang akan diambilnya aku sudah tidak begitu peduli. Bahkan ketika dia bilang kemungkinan untuk mengambil rahimku aku pun tidak peduli. Dokter aku mau hidup...itu saja.
Aku marah. Marah pada Tuhan, marah pada diri sendiri, marah pada dokterku yang biasanya begitu baik berubah begitu dinginnya menghadapi ketakutanku seolah menganggapku hanya sebuah object yang memang sudah semestinya mati dengan adanya penyakit itu...astaghfirullah..

Bersambung....


Thursday, September 9, 2010

Menu yang dinanti-nanti

Besok pagi sudah lebaran. Suasana rumah ibuku sibuk luar biasa, semua anggota rumah sejak pagi meracik dan memasak untuk menu lebaran besok pagi. Seperti biasa menu kita yang tidak pernah usang, opor dan sambel goreng kreni. Menu ini amat kita tunggu tunggu di saat lebaran. Kami bisa makan menu ini sehari 5 kali.....weww...

Untuk lebaran kali ini, ibuku masak luar biasa banyak. Karena tahun ini semua anak ibu datang dari berbagai kota, Jakarta dan Pemalang. Kami sudah ada di jogja semenjak 4 hari sebelum hari H.
Bisa dibayangkan betapa ramainya rumah ibuku, kami berlima dengan anak anak dan suami masing masing. Untuk itu ibu memasak 8 ekor ayam untuk opor, satu wajan besar sambal goreng kreni (daging yang dibulat-bulatkan) dan 100 buah lontong.
Hal ini untuk mengantisipasi amukan para suami dalam melahap lontong opor yang mana setelah sebulan mereka berpuasa. Biasanya mereka bisa makan lontong opor dalam satu hari 5 kali trip! Ha ha ha....

Adikku yang hobby bikin kue juga memasak berloyang-loyang kue basah dan kue kering seperti kaastengel dan nastar (menu standar). Kue basahnya adalah brownies dan chiffon yang istimewa. Untuk kue asinnya dia membuat martabak telur yang sudah memenuhi rak rak di kulkas menunggu digoreng keesokan harinya.

Untuk event memasak kali ini, ibuku bahkan harus membuka dapur darurat di gudang belakang rumah karena panci dan wajan yang digunakan extra large.

Rasa opor ibuku begitu legit dan berasa manis alami dari santan dan akan terasa lebih nikmat apabila dimakan keesokan harinya karena ayamnya akan semakin lembut dengan kuah yang semakin wangi oleh rempah rempah daun dan bumbu bumbu.

Sedangkan sambal goreng kreni terasa sangat istimewa dengan bola bola daging sapi yang gurih ditambahkan dengan krecek khusus yang selalu ibu pesan dari solo. Krecek ini berbeda dengan krecek jogja yang  lembek dan hancur ketika direndam dalam kuah sambal goreng. Krecek dari solo ini lebih kenyal dan lebih bagus bentuknya, panjang dan gilik, dan tidak akan hancur apabila harus lama berada dalam kuah sambel goreng.
Kemudian sambal goreng ini juga dilengkapi dengan kapri dan potongan pete yang membuatnya begitu khas (kami di bekasi tidak pernah masak pete).

Untuk lontongnya ibuku tidak pernah membuatnya sendiri, beliau memesan ke tetangga yang memang sudah bertahun tahun membuat lontong tiap lebaran. Lontongnya legit dan lembut dengan warna hijau daun pisang klutuk.

Waahh.....rasanya tidak sabar lagi menunggu hari ini berlalu. Sepulang dari mesjid besok pasti rumah kami akan sangat ramai dengan bunyi piring, sendok dan garpu serta suka cita dari anggota keluarga kami.

Selamat lebaran. Mohon maaf lahir dan bathin

Monday, September 6, 2010

Di Jogja lagi

Hari sabtu tgl 4 kita berangkat ke Jogja. Hari itu rasanya sudah ada di pikiranku dari seminggu sebelumnya. Seneeeng banget mau pulang ke Jogja. Pengen mengenang lagi puasa di jogja seperti dulu sekali ketika masih ikut orang tua.

Selama ini aku selalu melaksanakan ibadah puasa di bekasi atau Jakarta, dengan segala kesibukan dan hiruk pikuknya. Hanya berdua dengan suami atau kadang dengan keluarga besar suamiku di Jakarta. Hal itu berlangsung kira-kira sudah sepuluh tahun.

Kali ini aku ingin kembali merasakan bulan puasa di jogja dengan keluarga orangtuaku walaupun hanya selama seminggu. Sembari menghindari macet Jakarta Jogja maka kami pulang lebih awal.

Apa yang enak kalo puasa di Jogja ? Pertama masakan ibuku yang jadul banget dan jawa banget seperti sayur gori, sayur brongkos, sambel tumpang dsb. Di luar rumah ada bakso jogja yang aksesorinya komplit banget.....hmm...ngiler deh. Ada pangsit gorengnya, bakso gorengnya yang gede-gede, tahu goreng bahkan ada yang menambahkan serpihan usus goreng yang crunchy...
Ada lagi banyak makanan di luar sana, tapi begitu sampe rumah semua terbang dari kepala karena sudah makan masakan ibu dan perutku sudah tidak menyisakan tempat untuk makanan di luar sana.

Hari ini kami sekeluarga besar merencanakan buka puasa di kota magelang. Menunya bakso kutoarjo yang ada di pasar gede magelang dan kalo space di perut masih tersisa, kami akan lanjut makan rica enthog yang puedeess poll......

Tunggu cerita berikutnya ........